Welcome to my Blog !

Let us be a light in this world ! Be change and light ! :)

Sabtu, 28 Juli 2012

Simon, Matrena, dan Mikhail


Jaman dahulu kala di Rusia hidup pasangan suami-istri Simon dan Matrena. Simon yang miskin ini adalah seorang pembuat sepatu. Meskipun hidupnya tidaklah berkecukupan, Simon adalah seorang yang mensyukuri hidupnya yang pas-pasan. Masih banyak orang lain yang hidup lebih miskin daripada Simon. Banyak orang-orang itu yang malah berhutang padanya. Kebanyakan berhutang ongkos pembuatan sepatu. Maklumlah, di Rusia sangat dingin sehingga kepemilikan sepatu dan mantel merupakan hal yang mutlak jika tidak mau mati kedinginan.

Suatu hari keluarga tersebut hendak membeli mantel baru karena mantel mereka sudah banyak yang berlubang-lubang. Uang simpanan mereka hanya 3 rubel (rubel = mata uang Rusia) padahal mantel baru yang paling murah harganya 5 rubel. Maka Matrena meminta pada suaminya untuk menagih hutang orang-orang yang telah mereka buatkan sepatu. Maka Simon pun berangkat pergi menagih hutang. Tapi tak satupun yang membayar. Dengan sedih Simon pulang. Ia batal membeli mantel.

Dalam perjalanan pulang, Simon melewati gereja, dan saat itu ia melihat sesosok manusia yang sangat putih bersandar di dinding luar gereja. Orang itu tak berpakaian dan kelihatan sekali ia sangat kedinginan. Simon ketakutan, “Siapakah dia? Setankah? Ah, daripada terlibat macam-macam lebih baik aku pulang saja”. Simon bergegas mempercepat langkahnya sambil sesekali mengawasi belakangnya, ia takut kalau orang itu tiba-tiba mengejarnya.

Namun ketika semakin jauh, suara hatinya berkata, “HAI SIMON, TAK MALUKAH KAU ?? KAU PUNYA MANTEL MESKIPUN SUDAH BERLUBANG-LUBANG, SEDANGKAN ORANG ITU TELANJANG. PANTASKAH ORANG MENINGGALKAN SESAMANYA BEGITU SAJA ??”

Simon ragu, tapi akhirnya toh ia balik lagi ke tempat orang itu bersandar. Ketika sudah dekat, dilihatnya orang itu ternyata pria yang wajahnya sungguh tampan. Kulitnya bersih seperti kulit bangsawan. Badannya terlihat lemas dan tidak berdaya, namun sorot matanya menyiratkan rasa terima kasih yang amat sangat ketika Simon memakaikan mantel luarnya kepada orang itu dan memapahnya berdiri. Ia tidak bisa menjawab sepatah kata pun atas pertanyaan-pertanyaan Simon, sehingga Simon memutuskan untuk membawanya pulang.

Sesampainya di rumah, Matrena marah sekali karena Simon tidak membawa mantel baru dan membawa seorang pria asing.
“Simon, siapa ini? Mana mantel barunya? “
Simon mencoba menyabarkan Matrena, “Sabar, Matrena… dengar dulu penjelasanku. Orang ini kutemukan di luar gereja, ia kedinginan, jadi kuajak sekalian pulang”.
“Bohong!! Aku tak percaya….sudahlah, pokoknya aku tak mau dengar ceritamu ! Sudah tahu kita ini miskin kok masih sok suci menolong orang segala!! Usir saja dia!!”

“Astaga, Matrena! Jangan berkata begitu, seharusnya kita bersyukur karena kita masih bisa makan dan punya pakaian, sedangkan orang ini telanjang dan kelaparan. Tidakkah di hatimu ada sedikit belas kasih?”
Matrena menatap wajah pria asing itu, mendadak ia merasa iba. Lalu disiapkannya makan malam sederhana berupa roti keras dan bir hangat.
“Silakan makan, hanya sebeginilah makanan yang ada. Siapa namamu dan darimana asalmu? Bagaimana ceritanya kau bisa telanjang di luar gereja?”

Tiba-tiba wajah pria asing itu bercahaya. Mukanya berseri dan ia tersenyum untuk pertama kalinya.
“Namaku Mikhail, asalku dari jauh. Sayang sekali banyak yang tak dapat kuceritakan. Kelak akan tiba saatnya aku boleh menceritakan semua yang kalian ingin ketahui tentang aku. Aku akan sangat berterima kasih kalau kalian mau menerimaku bekerja disini.”

“Ah, Mikhail, usaha sepatuku ini cuma usaha kecil. Aku takkan sanggup menggajimu”, demikian Simon menjawab. Tak apa, Simon. Kalau kau belum sanggup menggajiku, aku tak keberatan kerja tanpa gaji asalkan aku mendapat makan dan tempat untuk tidur.”
“Baiklah kalau kau memang mau begitu. Besok kau mulai bekerja”.
Malamnya pasangan suami-istri itu tak dapat tidur. Mereka bertanya-tanya. “Simon tidakkah kita keliru menerima orang itu? Bagaimana jika Mikhail itu ternyata buronan?” Matrena bertanya dengan gelisah pada Simon.
Simon menjawab, “Sudahlah Matrena. Percayalah pada pengaturan Tuhan. Biarlah ia tinggal di sini.Tingkah lakunya cukup baik. Kalau ternyata ia berperilaku tidak baik, segera kuusir dia”.
Esoknya Mikhail mulai bekerja membantu Simon membuat dan memperbaiki sepatu. Di bengkelnya, Simon mengajari Mikhail memintal benang dan membuat pola serta menjahit kulit untuk sepatu. Sungguh aneh, baru tiga hari belajar, Mikhail sudah bisa membuat sepatu lebih baik dan rapi daripada Simon.

Lama kelamaan bengkel sepatu Simon mulai terkenal karena sepatu buatan Mikhail yang bagus. Banyak pesanan mengalir dari desa-desa yang penduduknya kaya. Simon tidak lagi miskin. Keluarga itu sangat bersyukur karena mereka sadar, tanpa bantuan tangan terampil Mikhail, usaha mereka takkan semaju ini.
Namun mereka juga terus bertanya-tanya dalam hati, siapa sebenarnya Mikhail ini. Anehnya, selama Mikhail tinggal bersama mereka, baru sekali saja ia tersenyum, yaitu dulu saat Matrena memberi Mikhail makan. Namun meski tanpa senyum, muka Mikhail selalu berseri sehingga orang tak takut melihat wajahnya
.
Suatu hari datanglah seorang kaya bersama pelayannya. Orang itu tinggi besar, galak dan terlihat kejam. “Hai Simon, Aku minta dibuatkan sepatu yang harus tahan setahun mengahadapi cuaca dingin. Kalau sepatu itu rusak sebelum setahun, kuseret kau ke muka hakim untuk dipenjarakan !!! Ini, kubawakan kulit terbaik untuk bahan sepatu. Awas, hati-hati ini kulit yang sangat mahal!”

Di pojok ruangan, Mikhail yang sedari tadi duduk diam, tiba-tiba tersenyum. Mukanya bercahaya, persis seperti dulu ketika ia pertama kalinya tersenyum.
Sebenarnya Simon enggan berurusan dengan orang ini. Ia baru saja hendak menolak pesanan itu ketika Mikhail memberi isyarat agar ia menerima pesanan itu. Simon berkata, “Mikhail, kau sajalah yang mengerjakan sepatu itu. Aku sudah mulai tua. Mataku agak kurang awas untuk mengerjakan sepatu semahal ini. Hati-hati, ya. Aku tak mau salah satu atau malah kita berdua masuk penjara.”
Ketika Mikhail selesai mengerjakan sepatu itu, bukan main terkejutnya Simon. “Astaga, Mikhail, kenapa kau buat sepatu anak-anak? Bukankah yang memesan itu orangnya tinggi besar? Celaka, kita bisa masuk penjara karena….”

Belum selesai Simon berkata, datang si pelayan orang kaya. “Majikanku sudah meninggal. Pesanan dibatalkan. Jika masih ada sisa kulit, istri majikanku minta dibuatkan sepatu anak-anak saja”.
“Ini, sepatu anak-anak sudah kubuatkan. Silakan bayar ongkosnya pada Simon”, Mikhail menyerahkan sepatu buatannya pada pelayan itu. Pelayan itu terkejut, tapi ia diam saja meskipun heran darimana Mikhail tahu tentang pesanan sepatu anak-anak itu.

Tahun demi tahun berlalu, Mikhail tetap tidak pernah tersenyum kecuali pada dua kali peristiwa tadi. Meskipun penasaran, Simon dan Matrena tak pernah berani menyinggung-nyinggung soal asal usul Mikhail karena takut ia akan meninggalkan mereka. Suatu hari datanglah seorang ibu dengan dua orang anak kembar yang salah satu kakinya pincang! Ia minta dibuatkan sepatu untuk kedua anak itu. Simon heran sebab Mikhail tampak sangat gelisah. Mukanya muram, padahal biasanya tidak pernah begitu. Saat mereka hendak pulang, Matrena bertanya pada ibu itu, “Mengapa salah satu dari si kembar ini kakinya pincang?”
Ibu itu menjelaskan, “Sebenarnya mereka bukan anak kandungku. Mereka kupungut ketika ibunya meninggal sewaktu melahirkan mereka. Padahal belum lama ayah mereka juga meninggal. Kasihan, semalaman ibu mereka yang sudah meninggal itu tergeletak dan menindih salah satu kaki anak ini Itu sebabnya ia pincang. Aku sendiri tak punya anak, jadi kurawat mereka seperti anakku sendiri.”
“Tuhan Maha Baik, manusia dapat hidup tanpa ayah ibunya, tapi tentu saja manusia takkan dapat hidup tanpa Tuhannya”, kata Matrena.
Mendengar itu, Mikhail kembali berseri-seri dan tersenyum untuk ketiga kalinya. Kali ini bukan wajahnya saja yang bercahaya, tapi seluruh tubuhnya.

Sesudah tamu-tamu tersebut pulang, ia membungkuk di depan Simon dan Matrena sambil berkata, “Maafkan semua kesalahan yang pernah kuperbuat, apalagi telah membuat gelisah dengan tidak mau menceritakan asal usulku. Aku dihukum Tuhan, tapi hari ini Tuhan telah mengampuni aku. Sekarang aku mohon pamit.”

Simon dan Matrena tentu saja heran dan terkejut, “Nanti dulu Mikhail, tolong jelaskan pada kami siapakah sebenarnya kau ini?”
Mikhail menjawab sambil terus tersenyum, “Sebenarnya aku adalah adalah satu malaikat Tuhan. Bertahun-tahun yang lalu Tuhan menugaskan aku menjemput nyawa ibu kedua anak tadi. Aku sempat menolak perintah Tuhan itu tapi kuambil juga nyawa ibu mereka. Aku menganggap Tuhan kejam. Belum lama mereka ditinggal ayahnya, sekarang ibunya harus meninggalkan mereka juga.

Dalam perjalanan ke surga,
Tuhan mengirim badai yang menghempaskanku ke bumi. Jiwa ibu bayi menghadap Tuhan sendiri. Tuhan berkata padaku, ‘MIKHAIL, TURUNLAH KE BUMI DAN PELAJARI KETIGA KEBENARAN INI HINGGA KAU MENGERTI :
PERTAMA, APAKAH YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA?
KEDUA, APA YANG TAK DIIJINKAN PADA MANUSIA?
KETIGA, APA YANG PALING DIPERLUKAN MANUSIA?’

“Aku jatuh di halaman gereja, kedinginan dan kelaparan. Simon menemukan dan membawaku pulang. Waktu Matrena marah-marah dan hendak mengusir aku, kulihat maut dibelakangnya. Seandainya ia jadi mengusirku, ia pasti mati malam itu. Tapi Simon berkata, “Tidakkah di hatimu ada sedikit belas kasih?” Matrena jatuh iba dan memberi aku makan. Saat itulah aku tahu kebenaran pertama :
“YANG HIDUP DALAM HATI MANUSIA ADALAH BELAS KASIH”

“Kemudian ada orang kaya yang memesan sepatu yang tahan satu tahun sambil marah-marah. Aku melihat maut di belakangnya. Ia tidak tahu ajalnya sudah dekat. Aku tersenyum untuk kedua kalinya. Saat itulah aku tahu kebenaran kedua :
“MANUSIA TIDAK DIIJINKAN MENGETAHUI MASA DEPANNYA. MASA DEPAN MANUSIA ADA DI TANGAN TUHAN”

“Hari ini datang ibu angkat bersama kedua anak kembar tadi. Ibu kandung si kembar itulah yang diperintahkan Tuhan untuk kucabut nyawanya. Dan aku melihat si kembar dirawat dengan baik oleh ibu lain. Aku tersenyum untuk ketiga kalinya dan kali ini tubuhku bercahaya. Aku tahu kebenaran yang ketiga :
“MANUSIA DAPAT HIDUP TANPA AYAH DAN IBUNYA TAPI MANUSIA TIDAK AKAN DAPAT HIDUP TANPA TUHANNYA.”

Simon, Matrena, terima kasih atas kebaikan kalian berdua. Aku telah mengetahui ketiga kebenaran itu, Tuhan telah mengampuniku. Semoga kasih Tuhan senantiasa menyertai kalian sepanjang hidup.” Mikhail kembali ke surga.

Dari : Kristamedia

Jumat, 27 Juli 2012

Evaluasi Diri

Bacaan: Mazmur 90:1-17

Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian hingga kami beroleh hati bijaksana.- Mazmur 90:12


Pada suatu liburan, kami sekeluarga menyempatkan untuk menginap di suatu tempat wisata beberapa hari. Hal yang jarang kami lakukan, karena masing-masing memiliki aktifitas yang cukup menyibukan kami. Pada hari kedua dari liburan itu, saya sudah merasa bosan. Mungkin karena saya sudah biasa sibuk, maka waktu-waktu istirahat justru menyiksa. Namun ada satu hikmah yang saya dapatkan, yaitu dengan cara inilah saya bisa mengevaluasi tentang apa saja yang telah saya lakukan selama tiga puluh hari terakhir ini. Berapa banyak waktu telah saya habiskan di tempat kerja dan berapa banyak waktu telah saya curahkan bagi keluarga, teman dan berapa banyak waktu saya berdua saja dengan Tuhan ??

Dengan mengevaluasi diri, maka kita akan tahu apakah selama ini kita berlari terlalu cepat dan terlalu jauh, ataukah sebaliknya kita tidak berlari sama sekali, kalaupun berlari mungkin kita hanya berlari di tempat saja. Apakah selama ini kita cukup seimbang? Ataukah selama ini waktu kita hanya tersita untuk hal-hal tertentu saja, sehingga hidup kita jauh dari kata seimbang?

Kita memang perlu berlari dalam pekerjaan kita, tetapi seorang pelari dengan prestasi dan kondisi yang paling baik sekalipun toh masih memerlukan waktu untuk berhenti dan beristirahat. Untuk mempertahankan keefektifan hidup kita, hendaknya kita hidup dalam keseimbangan, dengan mengetahui kapan waktu untuk berlari dan kapan waktu untuk beristirahat. Jika hidup kita berderap lepas kendali, sebaiknya kita berhenti sejenak. Luangkan waktu untuk memulihkan keseimbangan.

Marilah kita koreksi dan evaluasi hidup kita. Apa-apa yang sudah kita kerjakan selama setahun ini? Petiklah pelajaran berharga dari kegagalan yang kita alami, maupun keberhasilan yang sudah kita raih. Kalau memang kita mendapati bahwa selama setahun ini kita tidak maksimal, baiklah kita mencari tahu apa yang membuat hidup kita tidak efektif dan tidak maksimal. Apakah karena selama ini kita tidak menjaga keseimbangan dalam hidup kita? Sebagai bekal untuk menhadapi tahun baru yang sebentar akan kita jelang, miliki waktu untuk menjaga kseimbangan hidup dengan keluarga, teman, dan menciptakan saat teduh yang menyenangkan bersama Tuhan.

Lakukan evaluasi hidup selama setahun yang sudah kita jalani.


(Hans)

Menunggu Saat dan Waktu-NYA

Bacaan: Yohanes 2:4

Saat saya melihat banyak anak-anak Tuhan yang ditidurkan oleh banyak hal-hal yang Setan tawarkan saat anak-anak Tuhan menunggu saat dan waktu-Nya dalam hidup mereka, Roh Kudus berbicara dalam hati saya akan Firman ini dan Dia mau Firman ini "membangunkan" semua anak-anak Tuhan untuk "menunggu" dengan cara yang berbeda sampai saat dan waktuNya digenapi dalam hidup mereka.

Mari lihat dalam Yohanes 2 : 1-11. Banyak orang yang diberkati lewat perikop Firman Tuhan ini dimana Mujizat pertama yang Yesus adakan adalah di tengah-tengah keluarga. Dan saya percaya jika kita semua menghadirkan Yesus di tengah-tengah keluarga kita, akan ada banyak Anugerah, Berkat dan Mujizat yang Dia akan kerjakan untuk keluarga kita.

Tapi saya akan mengajak kita untuk melihat sisi lain yang Yesus ajarkan, terutama dalam pasal yang ke 4, saat Yesus berkata..." Mau apakah engkau dari pada-Ku,ibu? Saat-Ku belum tiba." Ada banyak anak-anak Tuhan yang dengan tanpa hikmat berkata seperti apa yang Yesus katakan diatas saat orang lain, pendetanya, orang tuanya, sahabatnya, mengajak untuk lebih sungguh-sungguh dengan Tuhan. Banyak dalih yang diutarakan, terutama kata-kata, "belum saatnya" aku ke gereja, berdoa, baca alkitab, dsb. Tapi melalui Firman ini, saya ajak kita semua, bahwa mari belajar seperti apa yang Yesus kerjakan saat menunggu saat dan waktuNya Yesus harus bergerak seperti apa yang Bapa mau, supaya Anugerah, Berkat dan Mujizat itu sampai dalam hidup kita.

Ada 2 hal yang kita harus kerjakan saat menunggu Saat dan Waktu-Nya Tuhan menggerakkan hidup kita :
  1. Tetap tinggal dalam Rumah Bapa. (Lukas 2:49)
    Saat kita menunggu, mari kita tetap tinggal dalam irama Pujian dan Penyembahan yang tak putus-putusnya. Rumah Bapa berarti ada kehadiran Bapa di dalam rumah itu dan kehadiran Bapa berarti ada hadiratNya yang akan melingkupi, memberkati dan membawa kita untuk lebih bersekutu dengan Dia.

  2. Minta Roh Kudus hadir dalam hidup kita. (Yohanes1:32) Nya disini adalah Yesus, dan Roh turun dalam hidupNya dan tinggal dalam hidupNya. Dan Roh itu adalah Roh Kudus itu sendiri. Roh Kudus lah yang akan menggerakkan hidup kita untuk sampai pada apa yang Tuhan rencanakan untuk hidup kita.
Jika hari-hari ini, ada dari kita yang saat menunggu saat dan waktuNYA Tuhan mengerjakan hidupnya dengan malah jauh dari Tuhan, mencari kesenangan duniawi, tinggal di luar HadiratNya, dan bahkan menyerahkan Yesus seperti Yudas Iskariot hanya dengan 30 keping perak, saya berdoa, setelah membaca Firman ini, kita akan berubah dengan menunggu saat dan waktuNYA Tuhan bekerja dalam hidup kita dengan Tetap tinggal dalam Rumah Bapa dan minta Roh Kudus turun, tinggal dan menggerakkan hidup kita sampai Anugerah, Berkat dan MujizatNya turun atas hidup kita. God Bless You..

(Ev. Abraham Robby R)

Senin, 23 Juli 2012

Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar

Kumpulan Puisi chairil Anwar bag. 1

SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946
CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946
MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949
DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949
—————————————————————————————————————————————-
NISAN

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta

DENGAN MIRAT

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam
‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?
Matamu ungu membatu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu
1946


Kumpulan Puisi chairil Anwar bag. 2

TJERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta Pattiradjawane
jang didjaga datu datu
Tjuma satu
Beta Pattiradjawane
kikisan laut
berdarah laut
beta pattiradjawane
ketika lahir dibawakan
datu dajung sampan
beta pattiradjawane pendjaga hutan pala
beta api dipantai,siapa mendekat
tiga kali menjebut beta punja nama
dalam sunyi malam ganggang menari
menurut beta punya tifa
pohon pala, badan perawan djadi
hidup sampai pagi tiba
mari menari !
mari beria !
mari berlupa !
awas ! djangan bikin bea marah
beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu !
beta ada dimalam, ada disiang
irama ganggang dan api membakar pulau …….
beta pattiradjawane
jang didjaga datu-datu
tjuma satu
 
PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
1948
Siasat,
Th III, No. 96
1949

Kumpulan Puisi chairil Anwar bag. 3

MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1948
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
(1948)
Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954


Kumpulan Puisi chairil Anwar bag. 3

AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943

HAMPA
kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti

DOA

kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…

AKU BERADA KEMBALI

Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh
1949

Semua kumpulan puisi dari Chairil Anwar diatas dikutip dari berbagai sumber.

Minggu, 22 Juli 2012

Mengayuhlah Terus, AKU Bersamamu

Pada awalnya aku memandang Tuhan sebagai seorang pengamat, seorang hakim yang mencatat segala kesalahanku, sebagai bahan pertimbangan apakah aku akan dimasukkan ke surga atau dicampakkan ke dalam neraka pada saat aku mati. Dia terasa jauh sekali, seperti seorang raja. Aku tahu Dia melalui gambar-gambar-Nya tapi aku tidak mengenal-Nya.

Namun ketika aku bertemu Yesus untuk pertama kalinya, pandanganku berubah. Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda.


Saat aku pegang kendali sepeda itu, aku tahu jalannya. Terasa membosankan tapi lebih dapat diprediksi. Biasanya, hal itu tidak berlangsung lama. Saat Yesus yang memegang kendali, Ia tahu jalan yang panjang dan menyenangkan. Ia membawaku mendaki gunung, juga melewati batu-batu karang yang terjal dengan kecepatan yang menegangkan. Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa menggantungkan diriku sepenuhnya kepada-Nya! Terkadang rasanya mustahil, tapi Ia akan berkata, “Ayo, kayuh terus sepedanya!”

Aku takut, kuatir, dan bertanya, “Aku mau dibawa kemana?” Yesus tertawa dan tidak menjawab. Saat bersepeda itu, aku mulai belajar untuk mempercayainya. Aku melupakan kehidupan yang membosankan dan memasuki petualangan baru yang mencengangkan. Dan ketika aku berkata bahwa aku takut, Yesus akan menurunkan kecepatan, mengayuh santai sambil menggenggam tanganku.

Ia membawaku kepada orang-orang yang menyediakan hadiah-hadiah yang aku perlukan, orang-orang itu membantu menyembuhkan aku, mereka menerimaku dan memberiku sukacita. Mereka membekaliku dengan hal-hal yang aku perlukan untuk melanjutkan perjalanan, perjalananku bersama Tuhanku. Lalu, kami pun kembali mengayuh sepeda kami.

Kemudian Yesus berkata, “Berikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya. Jika tidak, hadiah-hadiah itu akan menjadi beban bagi kita.” Meski aku pun memerlukannya, karena Yesus berkata seperti itu, aku mencoba menuruti perkataan-Nya. Aku membagi-bagikan hadiah itu kepada orang-orang yang kami jumpai, sesuai kebutuhan mereka. Aku belajar bahwa ternyata memberi adalah sesuatu yang membahagiakan.

Pada mulanya, aku tidak ingin mempercayakan hidupku sepenuhnya kepada-Nya. Aku takut Ia menjadikan hidupku berantakan, tapi Yesus tahu rahasia mengayuh sepeda. Ia tahu bagaimana menikung di tikungan tajam, Ia tahu bagaimana melompati batu karang yang tinggi, Ia tahu semuanya. Aku belajar untuk diam sementara terus mengayuh…menikmati tempat-tempat yang belum pernah kulewati tapi aku tahu aku aman bersama Sahabatku yang setia itu. Dan ketika aku tidak tahu apalagi yang harus kulakukan, Yesus akan tersenyum dan berkata, “Mengayuhlah terus, Aku bersamamu.”

Yesus bersama kita bahkan pada saat kita pikir Dia tidak peduli. Dia terus mengayuh sepeda tandem itu bersama kita, bahkan Dia yang memimpin jalannya. Yang harus kita lakukan hanyalah percaya pada-Nya dan terus mengayuh bersama-Nya.

Sumber : renungan-harian.com by lois horiyanti